MAKALAH
ALIRAN AHMADIYAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Agama
DosenPengampu
:Suhendri, S.Pd.I,M.Pd
DISUSUN OLEH :
WAHYUNI
NURLINA SARI
|
1786206131
|
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS
PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
KATA
PENGANTAR
Dengan
mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunianya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari dosen mata
kuliah Pendidikan Agama.
Makalah ini
ditulis berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan materi serta
informasi dari berbagai media yang berhubungan dengan materi. Tak lupa penulis
sampaikan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Pendidikan Agama atas bimbingan dan arahan
dalam penulisan makalah ini.
Penulis
berharap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca. Dan penulis berharap bagi
pembaca untuk dapat memberikan pandangan dan wawasan agar makalah ini menjadi
lebih sempurna.
Bangkinang,
November 2017
Kelompok
3
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah...................................................................................... 2
C.
Tujuan.......................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahirnya Ahmadiyah...................................................................... 3
B.
Riwayat Hidup Mirza Gulam Ahmad........................................................... 6
C.
Ahmadiyah Setelah Meninggalnya Mirza Gulam Ahmad........................... 9
D.
Doktrin-Doktrin Ahmadiyah......................................................................... 12
E.
Sejarah Munculnya Ahmadiyah Di Indonesia............................................. 22
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 30
B.
Saran........................................................................................................... 30
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Ahmadiyah sesungguhnya telah lama menjadi sorotan dari
berbagai organisasi Islam di tanah air. Salah satu hal pokok yang mengundang
protes dimana-mana adalah mengenai status Mirza Gulam Ahmad yang disinyalir
sebagai nabi oleh pengikut Ahmadiyah.Akhirnya, pada tahun 1980 MUI
mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat, dan ditegaskan lagi pada tahun
2005 bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, dan orang
Islam yang masuk dalam aliran Ahmadiyah maka tergolong kafir. Namun, sampai
saat ini tidak ada solusi yang tepat dari pemerintah untuk meredakan konflik
antara kalangan yang pro dan kontra Ahmadiyah.
Di samping itu, kekerasan dan aksi
penganiayaan terhadap jamaah Ahmadiyah terjadi di mana-mana, sehingga menuai
simpati dari berbagai pihak termasuk beberapa kalangan ulama dan dan
cendikiawan Muslim. Oleh karena itu, pada tahun 2008, pemerintah menerbitkan
SKB (surat keputusan bersama) tentang larangan bagi Ahmadiyah untuk menyebarkan
penafsirannya yang bertentangan dengan Islam, namun lagi-lagi SKB ini tidak
memberikan solusi yang nyata bagi persoalan yang ada.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Lahirnya Ahmadiyah
?
2.
Siapa Pendiri Ahmadiyah ?
3.
Apa Saja Ajaran Ahmadiyah Yang
Bertentangan Dengan Islam ?
C.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah
Lahirnya Ahmadiyah.
2.
Untuk Mengetahui Siapa Tokoh Pendiri
Ahmadiyah.
3.
Untuk Mengetahui Apa Saja Ajaran
Ahmadiyah Yang Bertentangan Dengan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Ahmadiyah lahir di India pada akhir
abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat Islam India di bidang agama,
politik, sosial, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya, yang merupakan dampak
dari kemunduran kerajaan Mughal yang berkuasa di India (1526-1858) pada akhir
abad ke-18. Kemunduran kerajaan ini berawal dari faktor internal berupa tidak
adanya pemimipin yang bisa mempertahankan kemajuan kerajaan Mughal setelah masa
pemerintahan Aurangzeb, yang bergelar Alamghir, karena dekadensi moral dan pola
hidup mewah dalam lingkup kerajan Mughal. Kerajaan muslim ini cukup lama
berkuasa di India, namun mayoritas penduduk India tetap beragama Hindu. Pada
masa-masa kemunduran ini, terjadi pula pemberontakan-pemberontakan dari pihak
Hindu dan Sikh yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Mughal. Dalam
beberapa penyerangan yang mereka lakukan, mereka melakukan perampasan dan
pembunuhan penduduk muslim, misalnya saat terjadi penyerangan ke Sirhind.[2]
Di sisi lain, intervensi Inggris
terutama setelah terjadinya revolusi India dengan pemberontakan munity pada
tahun 1875, juga berhasil memberikan pengaruh yang besar terhadap India.
Serangan-serangan Inggris berakhir dengan kemenangan East India Company, lalu
Inggris menjadikan India sebagai salah satu koloni yang terpenting di Asia.
Kondisi ini seakan memberikan kesempatan emas bagi Inggris untuk menjadikan
India sebagai salah satu daerah kristenisasi, terutama setelah
dideklarasikannya misi Kristen setelah terbentuknya British and Foreign Binle Society yaituThe GreatCentury of World Evangelization (Abad
Agung Penginjilan Dunia).[3]
Di samping masalah-masalah tersebut
di atas, kondisi umat Islam di India amat menyedihkan. Umat Islam kebanyakan
memiliki pemikiran yang statis, dan cenderung kuat dalam hal fanatisme
kelompok, sehingga persaingan dan pertentangan antar aliran, mazhab, dan
golongan Islam yang mereka anut seringkali terjadi. Ditambah lagi sikap mereka
yang tidak kritis dan membiarkan keyakinan mereka bercampur dengan ajaran dan
tradisi masyarakat Hindu aaupun Budha. Kebanyakan dari mereka juga tidak
mengindahkan perintah dan larangan yang telah dietapkan dalam agama. Selain
itu, pemikiran serta prilaku mereka amat konservatif, misalnya mereka menentang
penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa bukan Arab, seperti bahasa Urdu atau
bahasa Persia, padahal itu akan mempermudah masyarakat awam untuk memahami
al-Quran.[4]
Dan saat Inggris menjajah India,
kondisi umat Islam semakin terisolasi.Pada pertengahan abad ke-18, muncul
seorang ulama terkenal, yaiu Syekh Waliyullah, yang memotori umat Islam untuk
menyadari dan mencari solusi keterbelakangannya.[5]Usaha
ini diteruskan oleh pengikutnya, termasuk Syekh Ahmad Khan yang mendirikan
gerakan Aligarh. Ia meminta agar kaum muslimin menempuh jalan damai untuk
mengembangkan ajaran agamanya. Gerakan yang ia bangun, yakni Aligarh semakin
besar. Kesediaannya bekerja sama, membuat Inggris memberikan ruang gerak yang
lebih besar bagi Syekh Ahmad. Di tahun-tahun berikutnya Aligarh mempunyai pusat
pendidikan yang menghasilkan pujangga-pujangga besar dari India. Menurut
Muhammad Iqbal, Syekh Ahmad Khan adalah orang yang pertama kali merasakan
perlunya pembaharuan pemikiran Islam, dan beliau pulalah yang merealisasikannya.[6]
Dalam waktu yang hampir bersamaan,
muncul seorang pembaharu bernama Mirza Gulam Ahmad, yang dianggap
memiliki aliran yang sama dengan Syekh Ahmad Khan, bahkan ada yang
mempersamakannya. Namun, menurut beberapa pengamat, Ahmadiyah lahir sebagai
reaksi atas munculnya gerakan Aligarh. Prof. H. A. R. Gibb bahkan menyatakan
bahwa Ahmadiyah adalah perpaduan antara beberapa aliran menjadi satu aliran
baru dengan tujuan pembaharuan.[7]Ahmadiyah
merupakan gerakan pembaruan yang bersifat liberal dan cinta damai dengan maksud
menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam
dengan pemahaman yang lama. Mirza Gulam Ahmad sebagai pendirinya menyatakan
bahwa dirinya adalah al-Mahdi bagi umat Islam dan al-Masih bagi umat Kristen,
tetapi juga sebagai avatar (inkarnasi) Krishna. Hal inilah yang
memicu terjadinya reaksi yang keras dari umat Islam.[8]
Mengenai tahun berdirinya Ahmadiyah,
terdapata dua versi. Versi pertama adalah tahun 1888, yang diakui oleh
Ahmadiyah Lahore, yang didasarkan pada tahun ketika Mirza Gulam Ahmad menerima
ilham untuk menerima baiat dari pengikutnya. Versi yang kedua adalah tahun
1889, yang diakui oleh Ahmadiyah Qadian, yang didasarkan pada tahun pembaiatan
itu terjadi.[9]
Ia merupakan keturunan Haji Barlas, raja kawasan Kesh.
Ketika musuh menyerang Kesh, Haji Barlas melarikan diri bersama keluarganya ke
Khurasan dan Samarkand. Pada abad ke-16 salah seorang keturunannya yang bernama
Mirza Hadi Baig, pindah ke daerah Hindustan dan mendirikan sebuah kampung yang
bernama Islampur, yang kemudian disebut dengan Qadi atau Qadian. Karena saat
itu ia menjabat sebagai Qadi (hakim atau jaksa) di islampur. Mirza Hadi Baig
ini masih merupakan keturunan dinasti Mughal. Ketika Mughal berkuasa, kehidupan
keluarga ini amat sejahtera. Namun ketika pemerintahan Sikh berkuasa, mereka
terusir dari Qadian dan hidup miskin dan menderita. Dan baru pada tahun 1818,
keluarga Gulam Ahmad kembali ke Qadian.
Mirza Gulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835 atau
14 Syawal 1250 di desa Qadian, kurang lebih 57 kilometer sebelah timur kota
Lahore, dan 24 kilometer dari kota Amritsar di Propinsi Punjab, India. Ayahnya
bernama Mirza Gulam Murtaza dan ibunya Ciraagh Bibi.[10]Keluarga
Mirza Gulam Ahmad ini pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial
Inggris, terbukti pada tahun 1857 ketika Gulam Murtaza mengirimkan banyak orang
termasuk kakak Gulam Ahmad, yaitu Gulam Qadir untuk untuk ikut dalam tentara
Jenderal Nicholson di Trimughat ketika menghancurkan para pemberontak yang
melarikan diri dari Sialkot. Atas jasanya ini, ia mendapatkan penghargaan dari
Jenderal Nicholson.
Dalam perjalanan hidupnya, Gulam Ahmad mendapatkan
pendidikan dasar di kampungnya sendiri. Ia belajar banyak hal, seperti belajar
al-Quran dan beberapa kitab Persi dari Fazal Ilahi pada tahun 1841. Setelah
umur 10 tahun, dia belajar nahwu saraf dari Fazal Ahmad. Pada umur 17 tahun dia
belajar ilmu nahwu dan mantiq dari Gul Ali Shah dari Batala. Dan ia juga
belajar ilmu tabib langsung dari ayahnya yang memang merupakan seorang tabib.
Setelah berumur 29 tahun dia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di kantor
Bupati Sialkot dan hanya bertahan sampai 4 tahun. Lalu pulang ke Qadian. Di
sana sebagian besar waktunya dihabiskan dengan mempelajari al-Quran.
Selama 6 bulan dia bermujahadah atau melakukan perenungan
dan shalat tahajjud di tengah malam untuk mencari jawaban atas problematika
umat Islam. selain itu ia hidup amat sederhana, serta rajin berderma, ia juga
sangat rajin berpuasa. Ia tidak memiliki ketertarikan pada hal-hal duniawi. Dia
lebih banyak membaca, sehingga kemampuannya dalam berdiskusi mampu menarik
minat beberapa orang, termasuk misionaris-misionaris Kristen yang gencar
menyebarkan agamanya. Dia banyak belajar tentang Islam, demikian pula tentang
ajaran Hindu dan Kristen, sehingga dia banyak menulis artikel untuk menentang
kepercayaan dan pemimpin Hindu, begitu pula terhadap Kristen. Akhirnya pada
tahun 1880 ia menyusun buku Barahiyn
Ahmadiyah yang berisi kebenaran Islam. Bagian pertama buku ini
dicetak pada tahun 1880, bagian kedua pada tahun 1881, bagian ketiga pada tahun
1882, dan bagian keempat pada tahun 1884. Buku ini mengundang keinginan
tokoh-tokoh agama lain untuk berdialog denga Mirza Gulam Ahmad, dan membuat
umat Islam bersuka cita. Pada saat itu, ia belum mengaku sebagai mujaddid,
meskipun banyak orang menyebutnya mujaddid.
Selanjutnya pada tahun 1888, ia mengaku menerima ilham
memerintahkannya dua hal, yaitu hendaknya ia menerima baiat dari pengikutnya,
dan membentuk sebuah wadah untuk menyatukannya serta untuk mendukung penyebaran
Islam. Namun hal ini baru dilakukan pada tahun 1889 di kota Ludhiana, rumah Mia
Ahmad Jaan, yang dibaiat sekitar 40 orang. Ada sepuluh syarat baiat untuk masuk
ke dalam jemaah tersebut tanpa satupun syarat yang menyalahi syariat Islam. Dan
pada tahun 1891 ia mengaku mendapat wahyu dan ia mengaku bahwa dirinya adalah
al-Masih yang dijanjikan sekaligus al-Mahdi. Dan akhirnya ia wafat pada tahun
1908, karena sakit.
Sebelum meninggal, tepatnya pada Desember 1905, Mirza Gulam
Ahmad menulis buku berjudul al-Wasiyyat
yang berisi pemberitahuan bahwa dirinya tak lama lagi akan meninggal dan
nasihat agar warga Ahmadiyah tetap tentram dan bersabar hati. Kemudian pada
tahun berikutnya, tepatnya Desember 1906, didirikan sebuah lembaga dengan nama
Sadr Anjuman Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, yang bertugas mengurusi
sekolah-sekolah, majalah Review of Religion, Bahesyti Maqbarah atau badan
urusan wasiat, dan lain-lainnya.
Saat Mirza Gulam Ahmad masih hidup, umat Ahmadiyah amat
bersatu, dan kondisi tersebut terus terjaga hingga menjelang kematian
Khalifah I, yakni Maulwi Nuruddin, yang merupakan pengganti Mirza Gulam Ahmad.
Saat itu Ahmadiyah sudah tersebar luas, namun bibit perpecahan mulai timbul
dalam tubuh Ahmadiyah yang akhirnya menyebabkan Ahmadiyah terpecah menjadi dua,
yaitu Ahmadiyah Qadian yang dipimpin oleh Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
sebagai khalifah II, dan Ahmadiyah Lahore yang dipimpin oleh Maulana Muhammad
Ali.
Perpecahan yang terjadi di antara mereka dipicu oleh
perbedaan pendapat mengenai tiga hal, yakni masalah khalifah (pengganti
pimpinan), iman kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kenabian. Golongan Ahmadiyah
Qadian mengakui dan mendukung keberadaan organisi khilafat dengan alasan
menuruti ajaran Islam dan wasiat Mirza Gulam Ahmad bahwa dalam jama’at harus
ada khalifah yang ditaati oleh jama’at. Selain itu, mereka mengakui dan
meyakini bahwa beriman kepada Mirza Gulam Ahmad adalah suatu kewajiban, maka
barangsiapa mengingkarinya di adalah kafir, Mereka juga meyakini bahwa Mirza
Gulam Ahmad itu betul-betul nabi, dan pintu kenabian tetap terbuka sesudah
Rasulullah saw, yang didasarkan pada perkataan Mirza Gulam Ahmad dalam bukunya Eik Ghalti Ka Izalah, yaitu :
“Kapan dan dimanapun aku telah
mengingkari panggilan nabi atau rasul maka maknanya tidak lain hanya bahwa aku
bukanlah nabi atau rasul yang mustaqil, membawa syariat baru, dan menjadi nabi
yang berdiri sendiri, melainkan aku menerima karunia-karunia dari keruhanian
Rasulullah saw., karena aku menaati beliau serta dianugerahi nama dari
Rasulullah saw. Oleh karena itu, aku menerima ilmu-ilmu gaib dari Allah swt.
Dengan demikian, aku adalah rasul dan nabi, namun tidak membawa syariat baru.
Nabi dengan arti semacam ini tidak pernah aku ingkari. Justru dengan makna
inilah Allah selalu memanggilku nabi dan rasul”.[11]
Adapun Ahmadiyah Lahore mengatakan bahwa organisasi khilafat
tidak perlu, cukup dengan anjuman saja. Untuk menghormati wasiat khalifah I,
bolehlah ditetapkan sebagai Amir, namun tidak mutlak ditaati jema’at atau Sadr
Anjuman Ahmadiyah, dan memiliki batas waktu menjabat dan syarat-syarat
tertentu. Selain itu, mereka berpendapat bahwa beriman kepada Mirza Gulam Ahmad
merupakan hal yang baik, namun bukan merupakan kewajiban, maka barangsiapa yang
tidak beriman kepadanya maka ia tidak serta merta disebut kafir. Orang baru
bisa dikatakan kafir ketika orang tersebut mengingkari Rasulullah saw. Mereka
juga meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad bukan sebagi nabi, namun hanya sebagai
mujaddid, selain juga sebagai al-Masih dan al-Mahdi, dan yang menjadi dasarnya
adalah perkataan Mirza Gulam Ahmad dalam bukunya yang berjudul Izalah Auham dan Majmu’ah Isytiharat, yaitu:
“Ketahuilah wahai saudaraku kaum
muslimin bahwa kata-kata semacam itu seringkali termuat dalam tulisan-tulisan
saya, yaitu bahwa muhaddats dalam satu segi berarti nabi. Maksud
kata-kata itu tidak dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam arti yang lebih
luas lagi. Oleh karena itu, saya tidak ragu sedikit pun untuk memberikan makna
lain untuk menentramkan saudaraku umat Islam semuanya. (Yakni) apabila dalam
tulisan-tulisanku digunakan perkataan nabi, hendakalah itu diartikan muhaddats
dan anggaplah perlataan nabi tidak ada lagi”.[12]
Kelompok ini menentang pendapat Ahmadiyah Qadiani yang
menganggap Mirza Gulam Ahmad pernah mengaku sebagai nabi. Menurut mereka,
pengakuan Mirza Gulam Ahmad hanya sebatas seorang muhaddast atau mujaddid
dan didasarkan atas perintah Ilahi. Jika ini disebut kenabian dalam arti kiasan
atau disebut nabi juz’i, maka
bukan berarti pengakuan sebagai nabi.
Perpecahan ini menunjukkan sebuah titik terang bahwa
sebenarnya pengikut Mirzalah yang amat agresif dalam menyebarkan ajaran
Ahmadiyah yang kontroversi dengan ajaran Islam yang telah diyakini kebenarannya
sejak lama. Awalnya Ahmadiyah lahir sebagai sebuah solusi terhadap problematika
umat, namun setelah Mirza Gulam Ahmad dan khalifah I yang menggantikannya
meninggal dunia, mulai terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam tubuh
Ahmadiyah itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk kita ketahui bersama,
bahwa Ahmadiyah sulit untuk dicegah untuk beredar, karena sebenarnya masih ada
golongan Ahmadiyah yang tetap memiliki pemahaman seperti yang dimiliki oleh
umat Islam. meskipun kebanyakan orang menyamakan antara Ahmadiyah Qadiani dan
Ahmadiyah Lahore yang sebenarnya amat bertentangan dalam beberapa hal yang
sangat prinsipil.
Di kalangan Ahmadiyah, ada beberapa doktrin yang perlu
dikaji agar tidak menimbulkan kesalahpahaman tentangnya, antara lain sebagai
berikut :
a. Masalah Al-Mahdi dan Al-Masih
Doktrin ini merupakan ajaran pokok Ahmadiyah. Di kalangan
Ahmadiyah Lahore maupun Qadian meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah al-Mahdi
sekaligus al-Masih yang dijanjikan. Menurut Ahmadiyah, al-Mahdi tidak dapat
dipisahkan dengan al-Masih, karena keduanya merupakan satu tokoh, satu
kepribadian, yang kedatangannya telah dijanjikan Tuhan. Ia ditugaskan untuk
membunuh Dajjal dan mematahkan tiang salib, yakni mematahkan argumen-argumen
agama nasrani dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan serta
menunjukkan kepada para pemeluknya tentang kebenaran Islam, dan menegakkan
kembali syariat nabi Muhammad saw. yang telah mengalami kemerosotan.
Dasar yang
mereka gunakan adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
حدثني حرملة بن
يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب قال أخبرني نافع مولى أبي قتادة
الأنصاري أن أبا هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: كيف أنتم إذا نزل
ابن مريم فيكم وإمامكم منكم ؟[13]
Artinya :
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Bagaimanakah sikap kamu sekalian apabila Ibnu Maryam datang (bersamamu)
sedangkan imammu berasal dari kalanganmu?
حدثنا يونس بن
عبد الأعلى . حدثنا محمد بنن إدريس الشافعي . حدثني محمد بن خالد الجندي عن أبان
بن صالح عن الحسن عن أن س بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : (
لا يزداد الأمر إلا شدة . و لا الدنيا إلا إدبارا . ولا الناس إلا شحا . ولا تقوم
الساعة إلا على شرار الناس . ولا المهدي إلا عيسى بن مريم )
Artinya :
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah
urusan bertambah kecuali kesulitan, dunia tidak bertambah kecuali kemunduran,
tidaklah bertambah manusia kecuali cucuran air mata, tidaklah tiba hari kiamat
kecuali atas orang-orang yang jahat, dan tiada seorangpun sebagai al-Mahdi
kecuali Isa bin Maryam.
Berdasarkan hadis yang pertama, seluruh umat Islam meyakini
bahwa Isa Ibnu Maryam akan datang kembali. Akan tetapi, paham mereka
berbeda-beda, ada yang memahami secara harfiah, dan ada pula yang memahaminya
secara kiasi. Pada umumnya kaum muslimin berpendapat bahwa al-Masih yang
dijanjikan adalah Isa ibn Maryam yang diutus kepada bani Israil, dan sekarang
ini ia dianggap masih hidup di langit. Dia akan turun ke dunia dibantu oleh
imam Mahdi, keduanya akan berperang melawan orang-orang non-muslim dan tak akan
berhenti sebelum mereka semua memeluk agama Islam. sesudah itu didirikan
kerjaan Islam di dunia. Adapun golongan Ahmadiyah memahaminya secara kiasi,
mereka berpendapat bahwa al-Masih telah wafat secara wajar dalam usia lanjut
dan tidak akan bangkit lagi sebelum hari kiamat datang. Mereka memahami hal
tersebut dari QS.al-Ma'idah (5 : 117) dan QS. An-Nisa (4: 157-158) tentang Nabi
Isa as. yang meninggal secara wajar.
مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا
اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ
فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya :
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang
Engkau perintahkan padaku (yaitu), Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, dan
aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku, berada di tengah-tengah
mereka. Maka setelah engkau mengangkatku ke langit, Engkaulah yang mengawasi
mereka. Engkaulah yang Maha Menyaksikan segala sesuatu. (QS. Al-Ma’idah/5: 117)[14]
وَقَوْلِهِمْ
إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا
قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا
فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ
وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا (157) بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ
عَزِيزًا حَكِيمًا (158)
Artinya :
Dan (kami hukum juga) karena ucapan mereka, Sesungguhnya
kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, rasul Allah padahal mereka
tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh
adalah orang yang diserupakan dengan Isa, sesungguhnya mereka yang berselisih
pendapat tentang (pembunuhan) Isa itu, mereka benar-benar tidak tahu (siapa
sebenarnya dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka
tidak yakin telah membunuhnya. Tetapi Allah telah mengangkat Isa kehadirat-Nya,
Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.[15]
Terjemahan yang tertera di atas adalah terjemahan yang
disusun oleh Departemen Agama RI. Namun, ada perbedaan penafsiran dari golongan
Ahmadiyah. Mereka berpendapat bahwa kata syubbiha
lahum tidak bisa diartikan sebagai orang yang diserupakan dengan Nabi
Isa as., mereka menafsirkannya dengan ditampakkan
bagi mereka seperti demikian, yakni seolah-olah Nabi Isa as. telah meninggal di
tiang salib. Padahal sesungguhnya Nabi Isa as. meninggal secara wajar.
Begitu pula dengan kata rafa’a pada
ayat 158, mereka menafsirkannya dengan memuliakan
derajatnya, bukanmengangkatnya.[16]
Dan mereka memahami kata imamukun minkum pada hadis tersebut di atas bahwa al-Mahdi
adalah berasal dari umat Islam itu sendiri, dan dikaitkan dengan hadis kedua
yang menyatakan bahwa al-Mahdi adalah Isa as., maka mereka memahami al-Mahdi
dan al-Masih adalah satu tokoh, yang kemudian dipahami secara kiasan, bahwa
al-Masih sekaligus al-Mahdi yang dijanjikan, bukanlah Nabi Isa yang diutus
kepada Bani Israil, melainkan salah seorang umat Muhammad yang mempunyai
persamaan dengan Isa al-Masih, dialah Mirza Gulam Ahmad. Lebih lanjut Ahmadiyah
Lahore berpendapat bahwa jika Nabi Isa benar-benar akan datang atau
dibangkitkan kembali, maka itu berarti membongkar segel penutup kenabian, yang
bertentangan dengan Aqidah Islam.[17]
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, bahwa hadis-hadis yang
mereka gunakan yang berbicara tentang al-Mahdi dan al-Masih adalah bertentangan
dengan semua hadis shahih yang berbicara tentang hal tersebut. Dan para ahli
fiqih ,mufassir, serta muhaddis menyatakan bahwa Isa Ibnu Maryam akan datang
bukan sebagai nabi, tetapi sebagai umat Muhammad, sehingga tidak akan
membongkar segel kenabian.[18]
b.
Masalah Kenabian
Terkait dengan masalah kenabian,
dikalangan Ahmadiyah terdapat perbedaan pandangan antara Ahmadiyah Qadian dan
Lahore. Begitu pun dengan Ahmadiyah dengan kaum muslim pada umumnya. Ahmadiyah
Qadian memunculkan beberapa klasifikasi terkait masalah kenabian nabi shahib asy-Syariah dan mustaqil. Shahib asy-Syariah adalah Nabi pembawa syariat (hukum-hukum)
untuk manusia. Sementara Nabi Mustaqil
adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya,
seperti Nabi Musa a.s,beliau menjdi nabi bukan atas dasar menjadi mengikuti
nabi atau syariat sebelumnya. Ia langsung menjadi nabi dan pembawa Taurat.
Begitu pula Nabi Muhammad Saw. Nabi semacam ini dapat juga disebut sebagai Nabi Tasyri’I danmustaqil sekaligus.
Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri’I yaitu hamba Tuhan yang menjadi nabi
dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, hanya saja ia tidak membawa syariat
baru. Dalam arti bahwa ia ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syariat yang
dibawah oleh nabi sebelumnya. Nabi yang tergolong kedalam Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri’I, adalah
Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakariyah, Yahya, dan Nabi Isa. Semuanya menjadi
nabi secara langsung (Mustaqil), tidak karena hasil mengikuti para nabi
sebelumnya. Mereka secara langsung diangkat oleh Allah menjadi Nabi dan
ditugaskan menjalankan syariat Nabi Musa yang ada dalam kitab Taurat.
Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri’i, yakni hamba tuhan yang mendapatkan
anugra dari Allah menjadi nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi
sebelumnya dan juga karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga
karena mengikuti syari’atnya. Karena itu, tingkatan berada dibawah kenabiaan
sebelumnya dan ia juga tidak membawa syariat baru. Hamba tuhan yang masuk
kedalam golongan nabi Zhilli
Ghair at-Tasyri’i adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syariat Nabi
Muhammad.[19]
Adapun Ahmadiyah Lahore, ia membuat klasifiksi kenabian nabi
Haqiqi, yaitu nabi yang membawa syariat. Nabi Lughawi yang disebut sebagai nabi
yag tidak haqiqi. Dia adalah seorang manusia biasa, namun ia menjadi persamaan
cukup besar dengan para Nabi, yakni ia menerima wahyu. Hanya saja, wahyu yang
ia terima tidak bersifat tasyri’i meskipun mengandung pengetahuan dan pegajaran
tentag hal yang ghaib.
Dalam kaitannya dengan nabi lughawi tersebut menurut tokoh
Ahmadiyah Qadian Indonesia, Ahmadiyah Qadian lebih suka menggunakan istilah
nabi zilli atau buruzi yang
berarti nabi Bayangan. Nabi ini menjadi bayangan dari nabi sebelumnya karena ia
tunduk, mengikuti dan mencontoh sifat-sifat dan perintah-perintah nabi
sebelumnya. Oleh karena begitu taat dan patuh terhadap nabi haqiqi, maka pada
akhirnya ia menjadi bayangan atau cermin dari nabi yang diikut. Nabi zhilli
atau buruzi ini diangkat oleh tuhan. Selain menyabut dengan istilah nabi zhilli
atau buruzi, mereka meyebutnya dengan nabi ummati, nabi majazi, dan nabi kiasi.[20]
Jadi mengenai status kenabian Mirza ghulam Ahmad dimata
pengikutnya terdapat perbedaan pandangan yang mendasar antara Lahore dan
Qadian. Golongan Lahore sekalipun secara implisit memandangnya sebagai
nabi lughawi atau majazi, akan tetapi mereka menolak paham golongan Qadiani
secara tegas. Mereka memandang Mirza gulam Ahmad bukanlah nabi, melainkan
seorang Mujaddid abad
ke-14 H. Ia mempunyai banyak persamaan dengan dengan nabi dalam hal ia menerima
wahyu atau berita samawi (langit). Selanjutnya, mereka juga
berpandangan bahwa wahyu yang diterimanya wahyu walauah atau wahyu
kewaliaan. Menurut pandangan Ahmadiyah Lahore, wahyu semacam inilah yang tetap
terbuka agar dengan wahyu tersebut, iman umat manusia tetap hidup dan segar.[21]
Berbeda dengan paaham kenabian Ahmadiyah Lahore, Ahmadiyah
Qadian memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini
dan dipatuhi perintahnya. Sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Mengenai
pandangan ahmadiyah tentang khatam an-Nabiyyin juga terdapat perbedaan yang
perbedaan yang mendasari antara golongan Lahore dan golongan Qadian. Golongan
Lahore keyakinan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir. Sesudah
beliau tidak akan dating nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru. Mereka
menggunakan dasar :
”Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”.[22]
Penggunaan istilah nabi lughawi atau majazi sebagaimana yang
telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, apabila dikaitkan dengan Mirza
Ghulam ahmad, golongan Lahore memberikan pengertian bahwa dia bukanlah seorang
nabi, tetapi ia mempunyai persamaan cukup besar dengan nabi karena menerima
wahyu, meskipun wahyu yang diterimanya tidak tasyri’I dan mengandung
pemberitahuan atau pengajaran tenag hal yang ghaib.[23]
Dalam hal ini, Mirza Ghulam Ahmad lebih tepat disebut
Muhaddats, yaitu orang yang banyak menerima firman Ilahi. Oleh karena firman
Ilahi (wahyu) merupakan sebagian kenikmatan yang dianugrahkan kepada nabi maka
para Muhadats secara majasi atau kiasan disebut nabi majazi. Mengenai
penggunaan istilah Muhaddats, golongan ini mendasarkan pada pengakuan Mirza
Ghulam Ahmad sendiri : ”Bukan pendakwahan kenabian, melainkan pendakwahan
Muhaddatsiyat yang telah dilakukan atas perintah Allah Taala, hal itu
dinyatakan suatu kenabiaan majazi atau ditetapkan suatu bagian yang kokoh dari
kenabian. Apakah hal itu sebagai suatu pendakwahan kenabian”.[24]
Atas dasar pengakuan Mirza Ghulam Ahmad tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ia tidak pernah mengaku menjadi nabi. Pegakuaannya
hanya sebagai muhaddats yang didasarkan atas perintah tuhan. Pengkuan yang
disebut kenabiaan dalam artian kiasan atau disebut nabi majazi tersebut
tidak berarti pengakuaan sebagai nabi.
Disamping itu tulisannya yanglain, mirzaghulam Ahmad juga
menelaskan sebagai berikut : “ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin bahwa
kata-kata yang semacam itu yang seringkali termuat dalam tulisan saya, bahwa
muhaddats dalam satu segi berarti nabi. Kata-kata ini saya tidak maksudkan dalam
arti yang sebenarnya, tetapi digunakan dalam arti yang lebih luas. Oleh karena
itu, saya tidak ragu sedikitpun untuk memberikan makna yang lain untuk
menentramkan saudaraku umat islam seluruhnya, yakni apabila dalam tulisan
–tulisanku digunakan perkataan nabi, hendaklah itu diartikan sbagai muhaddats
dan anggaplah perkataan nabi tidak ada lagi”.[25]
Golongan Qadian memilikipemahaman yang berbeda terkait
dengan ungkapan khatam
an-nabiyyin. Menurut paham kaun Qadian, berita akan datangnya
kembali nabi Isa a.s. sebagai mana disebutkan oleh hadis-hadis yag shahih.[26]
Semua uraian sebenarnya merupakan penjelasan dari apa yang
menjadi keyakinan Mirza Ghulam Ahmad sendiri tentang khatam an-nabiyyin.Ia menyatakan “Dengan sungguh-sungguh saya
percaya bahwa nabi Muhammad saw adalah khatam al- anbiya. Seorang yang tidak
percaya pada khatam al-anbiya beliau (Rasulullah saw) maka dia adalah orang
yang tidak beriman dan berada diluar lingkungan islam, inti dari kepercayaan
saya adalah:La Ilaha Illallah,Muhammad
Rasulullah”[27].
Sebenarnya masih banyak tulisan-tulisan Mirza Ghulam
Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai manusia pilihan adalah
benar-benar khatam an-nabiyyin.
Ini menjadi kesepakatan semua umat islam. Namun mengenai makna dan pengertian
serta penafsiran terhadap kata tersebut, terdapat perbedaan yang mendasar,
termasuk ahmadiyah yang aliran Lahore. Ahmadiyah Qadian memandang
rasulullah sebagai khatam an-nabiyyin dengan kedudukan yang luhur dan utama dalam
segala hal.[28]
5. Sejarah Munculnya Ahmadiyah Di Indonesia
Ahmadiyah
mulai dikenal sejak tahun 1918 melalui majalah Islamic Review edisi Melayu yang terbit di Singapura. Akan
tetapi Ahmadiyah baru diperkenalkan secara langsung oleh tokohnya sendiri pada
tahun 1920. Tokoh tersebut bernama Prof. Maulana H. Kwadja Kamaluddin, seorang
tokoh Ahmadiyah Lahore sekaligus seorang Ahmadi yang membawa misi Islam di
London dan Eropa, serta redaktur surat kabar Islam Review yang menerbitkan artikel-artikel tentang
agama Islam dan juga merupakan Imam Masjid Woking, Surrey, London . Ia datang
ke Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1920 untuk berobat sekaligus melihat
keadaan di Surabaya.
Pada
tahun 1924, Ahmadiyah Lahore mulai dikenal di Yogyakarta, dikarenakan
kedatangan dua orang muballig Ahmadiyah langsung dari Hindustan, yaitu Maulana
Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig secara tiba-tiba dan tidak jelas siapa yang
mengundang keduanya. Menurut Muhammadiyah, Wali Ahmad Baig mengungkapkan bahwa
sebenarnya ia ingin ke Manila, namun karena tidak ada biaya hidup yang cukup,
terpaksa ia tinggal di Indonesia. Namun sumber lain mengungkapkan bahwa
keduanya sebenarnya berniat ke Cina dan hanya singgah di Indonesia. Tetapi
setelah mendengar berita mengenai penyiaran agama Kristen di Jawa yang sangat
kuat dan sukses, baik ketika mereka berada di Singapura maupun di Jawa, mereka
membatalkan niatnya untuk ke Cina dan tetap tinggal di Jawa, dan mereka melaporkan
perubahan rencana ini kepada Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Lahore (Shadr Anjuman Isy’ati Islam) di
India, serta meminta agar dikirimkan mubalig lain ke Cina.
Kedatangan
mereka awalnya disambut baik dan dibantu oleh organisasi Muhammadiyah. Hal ini
terbukti dengan tinggalnya Wali Ahmad Baig di rumah Haji Hilal di Kauman,
tempat kelahiran Muhammadiyah dan pusat aktivitas Islam di Yogyakarta. Selain
itu, Pengurus Besar Muhammadiyah sendiri juga menyambut mereka dalam kongresnya
yang diadakan pada tahun 1924. Pada kongres tersebut Maulana Ahmad memperoleh
kehormatan memberikan sambutan dalam bahasa Arab, sementara wali Ahmad Baig
memberi sambutan dalam bahasa Inggris, karena kurang fasih berbahasa Arab.
Materi
sambutan yang disampaikan oleh Wali Ahmad baig antara lain, perkenalan dirinya
sebagai utusan Ahmadiyah dari Lahore yang merasa berkewajiban mengenalkan
tentang Ahmadiyah di Lahore dan di dunia. Ada dua tujuan Ahmadiyah yang
disampaikannya, yaitu pertama, mengumpulkan
orang-orang Islam di dunia di bawah satu bendera Islam, yaitu Islam sejati. Kedua, menyiarkan agama Islam sebagai
agama yang cocok dengan kejadian manusia di seluruh dunia, olehnya itu
Ahmadiyah melakukan tablig di
seluruh dunia. Ia juga menginformasikan tentang kegiatan mubalig Ahmadiyah di
luar Hindustan, seperti di Inggris misalnya, di sana telah dikirim seorang
mubalig yang berama Kwadja Kamaluddin untuk berdakwah, dan dalam kurun waktu
tujuh tahun, sekitar 2000 orang masuk Islam di Inggris.
Adapun
materi yang disampaikan oleh Maulana Ahmad berkisar tentang dogma-dogma
Kristen, khususnya komentar tentang Ketuhanan dan Yesus seorang anak Tuhan. Ia
juga menjelaskan bahwa ada dua prinsip dalam dakwahnya. Pertama, mendorong agama Islam. Kedua, menjauhi aktivitas politik[29].
Lalu pada tahun 1925, juga dalam kongres Muhammadiyah, Mirza Wali Ahmad Baig
kemabali diberikan kesempatan memberikan sambutan di antara beberapa sambutan
yang ada. Pada saat itu Maulana Muhammad telah kembali ke India lebih awal
karena sakit. Sosok Wali Ahmad Baig ternyata memiliki daya tarik tersendiri di
mata sebagian tokoh Muhammadiyah, terutama tokoh intelektual muda. Ia dianggap
sebagai tokoh yang mampu dijadikan figur panutan untuk mengadukan berbagai
permasalahan atau mendapatkan siraman ilmu. Salah satu daya tarik terbesar Wali
Ahmad Baig adalah kemampuan bahasa Inggris yang dimilikinya.
Berita-berita
menarik tentang Ahmadiyah seringkali diterbitkan dalam jurnal K. H. Fachruddin,
yaitu Bintang Islam, bahkan
al-Manak Muhammadiyah tahun
1926 juga berisi artikel-artikel menarik tentang Ahmadiyah. Lebih lanjut,
periode ini Taman Pustaka, terbitan resmi Muhammadiyah, telah menerbitkan
karya-karya Ahmadiyah. Pada tanggal 7 Juni 1924, penasihat Urusan Pribumi, R.
Kern, melaporkan kepada gubenur Jenderal Hindia Belanda bahwa ada empat orang
pemuda Jawa dari Semarang yang pergi ke Calcutta menuju Lahore untuk studi di
sekolah Ahmadiyah Lahore, di antaranya adalah :
a.
Djoendab, umur 16 tahun, putera
Hadji Moechtar, Yogyakarta.
b.
Muhammad Sabitoen, umur 25 tahun,
putera Hadji Wahab.
c.
Djoemhan, umur 17 tahun, putera
Hadji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
d.
Maksoem, umur 17 tahun, putera Hadji
Hamid[30].
Kemajuan
Ahmadiyah juga mendapatkan perhatian besar dari kantor-kantor pemerintah
Belanda di Jawa. Pada awalnya mereka mengira bahwa Ahmadiyah hanya akan
menambah jumlah kelompok-kelompok Islam. Namun, akhirnya mereka memberikan
sikap mendukung terhadap Ahmadiyah, karena dinilai sangat liberal dan mampu
menyesuaikan diri, demikian yang diungkapakan oleh Residen Belanda di Yogyakarta,
yang bernama Dingemans. Pada tahun 1926, hubungan Ahmadiyah dengan Muhammadiyah
mulai renggang, setelah mereka mengetahui adanya penyimpangan terhadap sunnah,
yang terdapat pada doktrin-doktrin yang dibawa oleh Ahmadiyah Lahore. Sumber
lain mengatakan bahwa perubahan sikap tersebut terjadi ketika pada tahun 1927,
seorang ulama dari India yang sebenarnya belum jelas asal-usulnya maupun
karya-karyanya, yaitu Abdul Alim al-Siddiqi, datang untuk bertemu tokoh-tokoh
Islam, dan ketika memberi pengajian umum, ia secara gamblang menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan Ahmadiyah.
Dan hal
inilah yang membuat tokoh-tokoh Muhammadiyah berbalik membenci Ahmadiyah.
Akhirnya mereka mengundang Wali Ahmad Baig untuk membicarakan masalah ini, dan
setelah itu Wali Ahmad Baig pindah ke Purwokerto. Beralih kepada Ahmadiyah
Qadian yang masuk ke Indonesia pada tahun 1925, setahun setelah kedatangan
Ahmadiyah Lahore. Kedatangan mereka sebanarnya diawali oleh keberangkatan dua
orang pemuda Indonesia ke Hindustan untuk belajar ilmu agama Islam, yaitu Abu
Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin, yang merupakan lulusan dari perguruan Sumatra
Thawalib yang dipimpin oleh Dr. H. Karim Amrullah di Padang Panjang. Pada tahun
1922, mereka meninggalkan Sumatra melalui Medan ke India denga tujuan daerah
Lukcnow untuk mencari ulama. Namun setelah belajar sekitar dua setengah bulan,
mereka meninggalkan kota itu menuju ke Lahore, dan berkenalan dengan Ahmadiyah.
Di sana mereka dididik oleh Maulana Abdus Sattar, namun tidak memperoleh
kepuasan. Pada akhir tahun 1923, setelah enam bulan menetap di Lahore, mereka
menuju Qadian, dan menemui Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putera Mirza Gulam
Ahmad yang merupakan khalifah II, untuk belajar agama.
Dan mereka
diperbolehkan masuk madrasah Ahamadiyah setelah belajar bahasa Urdu selama enam
bulan. Lalu setelah masuk sekolah, mereka masuk Jami’ah Ahmadiyah, dan akhirnya
melakukan baiat di tangan Khalifah II. Pada tahun 1926, tercatatlah beberapa
orang lagi dari beberapa kota di Sumatera, antara lain Padang, Padang Panjang,
Batu Sangkar, dan Tapaktuan, Aceh, yang belajar ke sekolah Ahmadiyah. Pada
tahun 1924, Khalifah II diundang oleh para pelajar Indonesia yang saat itu berjumlah
19 orang, untuk menghadiri acara jamuan teh bersama para tokoh Jema’at. Dalam
jamuan tersebut para pelajar Indonesia meminta Khalifah II agar dapat
berkunjung ke Indonesia. Dan khalifah pun menunjuk Rahmat Ali yang merupakan
guru Ta’limul Islam High School di Qadian, untuk dikirim sebagai muballig untuk
Sumatra dan Jawa. Ia meninggalkan Qadian pada bulan Juni 1925 melalui Penang,
Medan, dan Sabang-kota pelabuhan di ujung utara Sumatra yang terletak di Pulau
Weh.
Akhirnya ia
tiba di Kotaraja, Banda Aceh, setelah di Sabang mendapat kesulitan dari
penguasa setempat. Dan pada tanggal 2 Oktober 1925 ia tiba di Tapaktuan dan
tinggal di rumah Muhammad Samin yang pernah belajar di Qadian. Ia mulai
melakukan tablig memakai pakaian yang sama seperti kebiasaannya di Qadian,
sehingga menarik perhatian masyarakat. Dalam waktu singkat beberapa orang
mengaku secara terang-terangan mengikuti Ahmadiyah pada akhir bulan Desember 1925.
Dengan demikian terbentuklah Jema’at Ahmadiyah di Tapaktuan. Kemudian Rahmat
Ali melanjutkan melakukan tablig ke kota Padang dan tinggal di rumah Daud
Bangso Dirajo di Pasarmiskin. Tablig yang ia lakukan membuat resah warga
Padang, bahkan sampai ke daerah-daerah seperti Padang Panjang, dan Bukittinggi.
Akhirnya terbentuk Komite Mencari Hak
yang dipimpin oleh Tahar Sutan Tarajo guna memperemukkan ulama Minangkabau
dengan mubalig Ahamadiyah, namun hal ini tidak terealisasikan, karena ulama
hanya mengirimkan murid-muridnya untuk datang menemui mubalig Ahmadiyah. Pada
tahun yang sama, ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amrullah mengecam keras paham
Ahmadiyah dan menegaskan kekafiran kaum Ahmadiyah yang dituangkan dalam
tulisannya yang berjudul al-Qaul
al-Sahih.
Namun hal
ini tidak menghambat perkembangan Ahmadiyah di Padang. Dengan demikian, Rahmat
Ali dipandang sebagai perintis Ahmadiyah Qadian di Indonesia yang dalam
perkembangannya menjadi sebuah organisasi dengan nama Jema’at Ahmadiyah
Indonesia. Setelah peristiwa berdirinya Ahmadiyah tahun 1929. Perbedaan antara
respon masyarakat pada awal kedatangan Ahmadiyah baik Qadian maupun Lahore
sangatlah berbeda, Ahmadiyah Qadian di Sumatra langsung mendapatkan tantangan
keras karena Ahmadiyah secara terang-terangan menunjukkan ajarannya dan siap
melakukan perdebatan, sedangkan Ahmadiyah Lahore di Yogyakarta, pada awalnya
tidak menunjukkan secara jelas identitas yang terkandung dalam ajaran mereka
yang bertentangan dengan ajaran Islam yang telah disepakati, sekalipun
ajarannya tidak sekontroversial Ahmadiyah Qadian. Namun, terlepas dari itu
semua, mereka dapat diterima secara baik, terutama oleh kaum muda karena
tawaran kajian Islam yang lebih modern dan liberal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ahmadiyah adalah sebuah gerakan atau wadah yang didirikan
oleh Mirza Gulam Ahmad dengan dasar petunjuk Ilahi yang bertujuan untuk
menyebarkan dan menegakkan syariat Islam, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad
saw. Ahmadiyah terpecah menjadi dua golongan setelah meninggalnya Mirza Gulam
Ahmad, yakni Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian. Di antara doktrin-doktrin
Ahmadiyah yang kontroversial adalah masalah Mirza Gulam Ahmad diyakini sebagai
al-Masih dan al-Mahdi, status kenabian Mirza Gulam Ahmad, dan masalah
keberadaan wahyu yang diturunkan kepada Mirza Gulam Ahmad.
B. SARAN
Penulis menyadari Makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Ha ini tidak terlepas dari keterbatasan
pengetahuan Penulis. Untuk itu, Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
penelitian ini dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
[1]Yogaswara, Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiyah Tidak
langsung Dibubarkan? (Cet. I; Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 67-76 dan
94-98.
[3]Barsihannor, Haruskah
Membenci Ahmadiyah (Cet. I; Yogyakarta: Kota Kembang, 2009), h. 89).
[4]Iskandar Zulkarnain, op.
cit., h. 49-51
[6]A. Yogaswara, op.
cit., h. 31.
[8]Iskandar Zulkarnain, op.
cit., h. 59
[10]Barsihannor, op.
cit., h. 95.
[11]Iskandar Zulkarnain, op.
cit., h. 72.
[12]Ibid
[13]Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain
al-Qusyairial-Ni saburi, Sahih Muslim,
Juz I (Beirut: Dar Ihyai al-Turas\ al-‘Arabi, t.th.), h. 135.
[14]Departemen Agama RI, al-Quran
dan Terjemahnya Special for Woman (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005),
h. 127.
[16]Iskandar Zulkarnain, op. cit., h. 88-89.
[18]Abu al-A’la al-Mauru di, Ma Hiya al-Qadiyaniyyah (Kuwait: Daral-Qalam, 1969), h. 224 dan
236.
[19]Iskandar Zulkarnain, op. cit., h. 104.
[22]Ibid.
[24]Ibid.
Barsihannor, Haruskah Membenci Ahmadiyah.Cet.
I; Yogyakarta: Kota Kembang, 2009.
Departemen
Agama RI. Al-Quran danTerjemahnya Special for Woman. Bandung: SyamilCipta
Media, 2005.
al-Maurudi, Abu al-A’la. Ma
Hiya al-Qadiyaniyyah. Kuwait :Daral-Qalam, 1969.
al-Nisaburi, Muslim bin
al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi.Sahih Muslim, juz I. Beirut: DarIhyai al-Turas al-‘Arabi, t.th.
Yogaswara,
A. HebohAhmadiyah: Mengapa Ahmadiyah Tidak langsung Dibubarkan? Cet.
I; Yogyakarta: Narasi, 2008.
Zulkarnain, Iskandar. GerakanAhmadiyah
di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: LKIS, 2005.
Post A Comment:
0 comments: